Laporan Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

December 25, 2018
LAPORAN PRAKTIKUM ILMU KESEHATAN TERNAK 

BAB I
PENDAHULUAN

Kesehatan binatang ialah suatu status kondisi tubuh binatang dengan seluruh sel yang menyusunnya dimana cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis berfungsi normal. Pemberantasan penyakit secara tuntas di suatu daerah tertentu mungkin sulit dilaksanakan walaupun upaya telah berlangsung bertahun-tahun. Hal ini sanggup terjadi lantaran sifat alamiah gen penyakit yang berkemampuan tetap bertahan hidup di luar induk semangnya, keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penciptakan vaksin yang handal, atau ketidak mungkinan mengatasi atau mengendalikan semua macam pembawa sifat bagi jasad renik yang ada. 

Penyakit pada ternak yang tersebar kini ini banyak disebabkan oleh parasit, baik endoparasit maupun ektoparasit. Endoparasit merupakan benalu yang berada di dalam tubuh induk semang. Ektoparasit merupakan benalu yang berada di luar atau permukaan tubuh induk semang. Pemeriksaan nekropsi merupakan investigasi jaringan tubuh ternak baik dipermukaan tubuh maupun didalam tubuh yang dilakukan dengan cara membedah rongga tubuh

Praktikum ilmu kesehatan ternak dengan materi Pemeriksaan feses dan pengamatan preparat benalu ini bertujuan untuk mengetahui apakah didalam tubuh ternak terdapat telur cacing atau tidak. Manfaat yang diperoleh ialah praktikan sanggup mengidentifikasi ternak apakah ternak tersebut dalam keadaan sehat atau sakit.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia

Sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan hasil persilangan antara sapi perah Friesiand Holstein (FH) dengan sapi-sapi lokal yang ada di Indonesia dimana sifat FH-nya lebih menonjol (Muldjana, 1985). Sapi perah Friesian Holstein mempunyai identitas warna hitam berbelang putih, kepala berbentuk panjang, lebar, dan lurus (Siregar, 1993).

Kondisi fisiologis lingkungan yang sanggup mempengaruhi kondisi fisiologis ternak, mencakup frekuensi pernafasan, denyut jantung, dan suhu rektal yang mengindikasikan kondisi kesehatan ternak (Santoso, 1995). Kesehatan ternak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Ciri-ciri ternak yang sehat antara lain lincah, mata bersinar terang, nafsu makannya baik, frekuensi pernafasan baik, suhu tubuh normal dan tidak terdapat bekas luka pada pecahan permukaan tubuhnya. Kondisi tubuh sapi yang seimbang ialah tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, langkah kakinya terlihat mantap dan teratur (Sugeng, 1998). Kesehatan binatang ialah suatu status kondisi tubuh binatang dengan seluruh sel yang menyusun dan cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis berfungsi normal (Murtidjo, 1993).

Kesehatan binatang ialah status kondisi tubuh binatang dengan seluruh sel yang menyusun dan cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis yang berfungsi normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan binatang antara lain faktor mekanis, termis (suhu), nutrisi (pakan), dampak zat kimia, keturunan dan sebagainya. Frekuensi nafas pada sapi rata-rata 20-30 kali per menit. Denyut jantung sapi normal berkisar antara 50-60 kali per menit. Kulit dan bulunya tampak halus mengkilat. Pertumbahan bulu merata di seluruh permukaan tubuhnya (Akoso, 1996). Suhu tubuh ternak sapi yang normal berkisar antara 38-39 °C (Willamson dan Payne, 1993).

Pemeriksaan kesehatan ternak dilakukan untuk mencegah dan merawat ternak, supaya ternak tersebut sanggup berproduksi dan beraktivitas secara normal tanpa mengganggu proses fisiologisnya (Subronto, 1985). Adapun faktor-faktor yang sanggup mempengaruhi kesehatan ternak antara lain faktor mekanis, termis, nutrisi, dampak zat kimia dan keturunan. Penyakit yang pernah diderita ternak ialah mencret, radang pusar, perut kembung, radang mulut, kuku dan lain-lain (Murtidjo, 1993).

Kondisi tubuh ternak yang seimbang dan sehat yaitu tubuh tidak terlalu gemuk atau kurus, pecahan sudut mata terlihat higienis tanpa adanya kotoran atau getah radang dan tidak terlihat perubahan warna di selaput lendir dan kornea matanya (Murtidjo, 1993). Ternak sehat mempunyai permukaan kulit yang halus, higienis dan mengkilat, pertumbuhan bulu merata di permukaaan tubuh, bulu tumbuh panjang dan bergairah terutama di daerah beriklim sejuk, dan dalam keadaan normal penampilan bulu tidak kusam (Santoso, 1995). 

Pemeriksaan kondisi fisik ternak dilakukan pada ketika ternak beraktivitas tidak dalam posisi tidur sehingga sangat terlihat terang gejala ternak yang sakit atau tidak (Akoso, 1996). Untuk pencegahan penyakit, hal yang perlu dilakukan ialah dengan sanitasi yang baik, tempat perteduhan yang cukup dan sangkar yang kering (Blakely and Bade, 1998).

2.1.1. Pengamatan tingkah laris ternak

Tingkah laris ternak sanggup dijadikan sebagai indikasi kesehatan ternak, apabila ternak tersebut sehat maka mempunyai gerak yang aktif, bisa mengusir lalat, tidak lesu dan tidak sanggup tegak (Murtidjo, 1993). Ternak yang sehat sanggup diamati dari tingkah lakunya, baik dari jarak erat maupun dari jarak jauh (Subronto, 1985). Sapi yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif dan perilaku sigap serta akan selalu sadar dan cepat tanggap akan adanya perubahan situasi sekitar yang mencurigakan (Sugeng, 1998).

2.1.2. Pemeriksaan fisik ternak

Kondisi fisik ternak yang sehat sanggup diketahui dari sudut matanya yang terlihat higienis tanpa adanya kotoran atau getah radang dengan tidak terlihat perubahan warna yang diselaputi lendir dan kornea matanya. Ekornya selalu aktif mengibas untuk mengusir lalat, kulit dan bulunya tampak halus dan mengkilat. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara palpasi, inspeksi visual dan penciuman di samping telinga dengan cara auskultasi dan perkusi. Suhu normal sapi ialah 38,5 0C (101,5 0F), suhu kritis 39,5 0C (103 0F) (Siregar, 1997). Pemeriksaan kondisi fisik ternak dilakukan pada ketika ternak beraktivitas tidak dalam posisi tidur sehingga sangat terlibat terang gejala ternak yang sakit dan ternak yang sehat (Santosa, 1995).

2.1.3. Kondisi fisiologis ternak

Fisiologis ternak mencakup suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernafasan dan denyut jantung. Pengetahuan fisiologis ternak sangat penting lantaran akan ikut dalam memilih keberhasilan perjuangan peternakan selain faktor genetik dan kuliner (Santosa, 1995). Sapi sehat bernafas dengan damai dan teratur namun, sapi yang ketakutan lelah akhir kerja berat, kondisi udara terlalu panas pernafasannya akan menjadi lebih cepat. Kecepatan pernafasan sapi rata-rata berkisar 10-30 kali per menit (Sugeng, 1998).

Secara fisiologis, ternak yang normal mempunyai frekuensi pernafasan antara lain ternak kuda 8-10 kali per menit, sapi 10-30 kali per menit, kerbau 12-15 kali per menit, domba, babi dan kambing 10-20 kali per menit. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran tubuh, umur, acara ternak, kebuntingan, lingkungan dan acara pencernaan terutama pada rumen. Suhu tubuh yang normal untuk kuda 38 0C, sapi 38,5 0C, kerbau 38,2 0C, babi dan domba 39 0C (Dukes, 1995). Frekuensi nafas untuk sapi remaja ialah 10-30 kali per menit. Suhu tubuh normal untuk anak sapi ialah 39,5 0C – 40 0C, sedangkan untuk sapi remaja 38 0C – 39,50 0C. Suhu tubuh ini di pengaruhi oleh adanya jenis, bangsa, individu, umur, jenis kelamin, kondisi tubuh, acara yang berbeda, pakan dan kondisi klimat atau suhu (Williamson dan Payne, 1993).

Denyut nadi pada ternak sapi yang istirahat berkisar antara 50-60 kali per menit, sedangkan pada sapi yang sedang lari atau bekerja denyut nadinya mencapai 85 kali per menit. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan denyut nadi ialah umur, spesies, kelamin, kondisi ternak acara dan suhu lingkungan. Ternak yang mengalami stress akan meningkat denyut jantungnya. Denyut jantung pada sapi berkisar antara 50-60 kali per menit (Frandson, 1996). Suhu lingkungan panas akan meningkatkan denyut jantung dan frekuensi pernfasan pada ternak sehingga panas tubuh eksklusif diedarkan oleh darah ke permukaan kulit dengan dikeluarkan melalui radiasi, konveksi, konduksi maupun evaporasi atau penguapan. Sebaliknya jikalau suhu lingkungan dingin, maka produksi panas akan dipakai untuk menjaga keseimbangan panas biar suhu tubuh tidak turun (Levine, 1994). 

2.1.4. Kondisi lingkungan ternak

Sanitasi merupakan upaya penjagaan kebersihan sangkar dan lingkungan, sanitasi yang baik sanggup menghambat kehadiran bibit penyakit (Akoso, 1996). Sanitasi merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh peternak dalam usahanya, biar ternak yang dipelihara dalam kondisi yang sehat dan mempunyai produksi yang optimal (Siregar, 1997). Perawatan dan sanitasi ternak bertujuan untuk mencegah aneka macam macam penyakit dan benalu (Sugeng, 1998). 

Sanitasi lingkungan mencakup kebersihan kandang, peralatan (tempat pakan, tempat minum dan lain-lain), serta kebersihan lingkungan sekitar (Santoso, 1995). Memandikan ternak perlu dilakukan lantaran jikalau ternak tidak dimandikan akan kotor dan lembab. Apabila keadaan ini dibiarkan, tubuh ternak akan menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembangnya pathogen (kuman/penyakit), yaitu jamur, benalu yang akan membahayakan ternak (Sugeng, 1998). Ternak dimandikan minimal satu ahad sekali. Air yang dipakai harus higienis dan mengalir dengan cara disikat dan disabun biar kuman-kuman penyakit pada bulu dan sekitarnya mati (Santosa, 1995). Waktu memandikan ternak sebaiknya pada pagi hari, kemudian di jemur untuk mendapat sinar matahari sehingga membantu pembentukan vitamin D (Williamson dan Payne, 1993).

Faktor-faktor kebersihan lingkungan perlu dipertimbangkan untuk jaminan kesehatan ternak dan peternak, bangunan sangkar harus ditempatkan di suatu tempat tertentu, yakni ditempat yang kering, atau ditempat yang lebih tinggi dari lingkungan sekitar, atau yang tanahnya gampang menghisap air atau bila terdapat air hujan, air akan gampang mengalir dengan cepat (Sugeng, 1998). Jika bangunan berada di pepohonan besar, maka ruangan sangkar akan gampang menjadi lembab alasannya cahaya matahari akan terhalang oleh pepohonan (Sugeng, 1998).

Kotoran dibawa dan ditempatkan di tempat khusus, kolam penampungan kotoran, yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Lantai sangkar yang higienis sangat kuat terhadap kebersihan udara di dalam ruangan sangkar itu sendiri sehingga penghuni sangkar pun menjadi lebih nyaman (Santoso, 1995). Sanitasi sangkar mencakup lingkungan sangkar dan ternak, setiap hari sangkar harus dibersihkan dari kotoran (Akoso, 1996).

Letak sangkar yang baik sebaiknya berada agak jauh dari pemukiman penduduk dan erat dengan sumber air serta sarana transportasi dan komunikasi. Lokasi sangkar sebaiknya tidak becek dan lembab serta cukup sinar matahari, di dataran yang lebih tinggi dari dataran yang lainnya pada kompleks peternakan dan jauh dari pemukiman penduduk (Setyadi, 1982). Atap sangkar sanggup berupa genting, daun tebu, daun kelapa, daun rumbia maupun asbes. Lantai sangkar sanggup dibentuk dari materi semen, papan atau kayu dan dibentuk agak miring kira-kira 50 kemiringan. Kemiringan lantai ini bertujuan biar air kencing sapi tidak bercampur dengan kotoran, sehingga kesehatan sapi sanggup terjamin (Siregar, 1997). 

2.2.Parasit

Parasit ialah organisme yang hidup di atas atau di dalam beberapa organisme lain yang dikenal sebagai induk semang. Parasit itu mungkin berupa binatang atau tumbuh-tumbuhan, mereka mungkin virus, bakteri, protozoa, cacing atau arthropoda (Levine, 1994). Menurut cara hidupnya benalu sanggup dibedakan antara ektoparasit dan endoparasit. Parasit berasal dari binatang bebas yang mengalami evolusi. Kelompok benalu ialah semua jasad renik yang bersifat merugikan binatang ternak yang hidup di dalam atau di luar individu lain yang biasa disebut dengan induk semang. Beberapa benalu mempunyai organ semacam alat penghisap untuk bergantung. Banyak benalu yang memproduksi sangat banyak telur, lantaran kemungkinan setiap telur akan menginfeksi induk semang yang gres ialah sangat kecil. 

2.2.1. Endoparasit

Salah satu jenis endoparasit ialah cacing. Cacing merupakan jenis benalu yang mempunyai daur hidup sangat spesifik. Daur hidup cacing terjadi pada tubuh induk sehingga cacing bertelur dalam susukan empedu dan dibawa oleh cairan empedu kedalam usus yang kemudian keluar bersama tinja. Endoparasit pada ruminansia kecil sanggup dibedakan atas tiga jenis yaitu: Nematoda atau cacing gilik, Cestoda atau cacing pita dan Trematoda atau cacing daun. Cacing gilik yang penting pada ruminansia kecil didaerah tropis lembab hidup dalam susukan pencernaan dan seluruhnya memilki siklus hidup langsung. Tidak terdapat inang mediator untuk jenis cacing ini. Trematoda hidup dalam susukan pencernaan atau organ yang terkait dengannya mirip hati dan pankreas. Siklus hidupnya langsung. Contoh cacing Trematoda yaitu, Fasciola hepatica dan Fasciola gigantika (Norman, 1994). Cestoda ialah merupakan cacing pipih yang mempunyai ciri umum yaitu adanya segmentasi tubuh yang unik, tanpa susukan pencernaan daur hidup yang berbeda. Segmen-segmen tubuhnya disebut proglotia. Parasit ini biasa disebut cacing pita. Cacing remaja hidup di dalam usus vertebrata (Elmer dan Glenn, 1989).

2.2.1.1 Fasciola sp (Cacing daun). Fasciola hepatica ini berada dalam susukan empedu atau usus yang mengakibatkan kerusakan hati. Kerbau yang mempunyai kebiasaan berendam dalam kubangan berpeluang besar untuk terkena infeksi penyakit ini. Panjang Fasciola gigantica sanggup mencapai 7,5 cm, sedangkan Fasciola hepatica sepanjang 3 cm. Fasciola mempunyai sebuah penghisap di pecahan depan dan sebuah lagi di pecahan bawah tubuhnya (Levine, 1994). Daur hidupnya terjadi pada tubuh induk semangnya. Cacing bertelur dalam susukan empedu dan dibawa oleh cairan empedu masuk ke dalam usus yang kemudian akan keluar bersama tinja. Bila cuacanya cocok, maka telur akan menetas dan menghasilkan larva stadium pertama atau mirasidium dalam waktu 9 hari. (Kadarsan,et al. 1983).

Ternak akan terinfeksi oleh penyakit ini lantaran makan rumput yang mengandung metaserkaria terpengaruhi oleh ternak tersebut akan menembus dinding usus dan tinggal di dalam hati yang akan berkembang selama 5 atau 6 minggu. Dalam tahap simpulan larva cacing akan memasuki susukan empedu untuk tumbuh menjadi dewasa. Gejala yang sering terjadi ialah ternak akan menjadi lemah dan depresi, pecahan perut membesar dan terasa sakit. (Kadarsan,et al.1983). Usaha pencegahan untuk mengobati ternak dari cacing Fasciola sp ini selain dengan pengobatan juga dilakukan upaya pemberantasan siput yang berada di sekitar lingkungan ternak hingga radius 5 km. Pengobatan Fasciola hepatica dilakukan dengan proteksi obat karbon tetraklorida (CCl4 ), Hexaclorothan dan Clioxnide (Tjahjati dan Soebronto, 2001).

2.2.1.2. Ascaridia galli. Cacing ini terdapat pada usus kecil ayam dan burung galinaseosa lain di seluruh dunia.. Ascaridia galli mempunyai siklus hidup yang langsung. Telur keluar bersama tinja dan berubah menjadi stadium infektif pada tanah dalam waktu 8 – 14 hari pada kondisi biasa telur infektif tertelan oleh burung dan menetas di dalam proventrikulus atau usus halus. Beberapa larva masuk kedalam dinding usus, tetapi kebanyakan tetap di dalam rumen. Larva berkembang melewati usus dan pindah ke selaput lendir (Levine, 1994). Cacing Ascaridia galli merupakan nematoda parasitik yang sering ditemukan pada unggas termasuk ayam petelur panjang rata-rata cacing jantan kira-kira 50 mm, dan yang betina sanggup lebih dari 100 mm, benalu tersebut mengakibatkan kerugian kepada peternak berupa penurunan berat tubuh dan kendala pertumbuhan, penurunan produksi telur serta penurunan kualitas telur. Hal tersebut lantaran cacing selain menyerap zat-zat kuliner juga mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel villi serta berkurangnya luas permukaan villi usus yang berperanan dalam proses pencernaan dan peresapan kuliner (Zalizar, et al. 2006).

2.2.1.3. Moniesia sp. Moniesia sp dengan bentuk tubuh bersegmen-segmen proglotida, setiap prolotida terdiri atas organ lengkap, bersifat hermaprodit (Levine, 1994). Cacing remaja hidup dalm usus halus, panjang seluruhnya sanggup mencapai 6 m dan pada umumnya telurnya ibarat buah jambu, bergaris tengah sebesar 0,06 mm terbungkus dalam kulit yang mempunyai bentuk segitiga (Blakely dan Bade, 1998). Daur hidup cacing pita ini dimulai dari telur yang keluar bahu-membahu tinja kemudian jatuh ke tanah, telur cacing pita akan menjadi kuliner tungau, yang bertindak sebagai induk semang sementara di dalam usus tungau, telur cacing akan menetas menjadi larva yang akan menembus usus masuk kedalam rongga tubuh dan larva akan berubah menjadi sistiserkoid yang tahan hidup selama 2-5 bulan, selanjutnya tungau tanah akan melekat pada daun atau batang rumput dan bilamana rumput dimakan oleh domba, sistiserkoid kan tumbuh menjadi cacing remaja di dalam usus halus (Kadarsan et al., 1983).

2.3.1.4. Raillietina sp. Raillietina sp mempunyai banyak proglotid terdapat rostelum dengan kait berbentuk palu yang tersusun dalam lingkaran ganda, alat penghisap kadang kala dipersenjatai dengan kait yang kecil dan berdegenerasi yang tersusun dalam beberapa lingkaran. Raillietina sp merupakan cacing pita pada unggas piaraan, daerah penyebarannya luas terdapat baik di daerah cuek maupun di daerah panas mirip Indonesia. Panjangnya sanggup mencapai 25 cm. Stadium larva terdapat pada semut atau larva lalat rumah. Sebagai hospes mediator ialah semut jerami yang termasuk genus Pheiole, dan kelinci tanpa disengaja menelannya pada ketika makan tumbuh-tumbuhan (Levine dan Norman, 1994). Alat penghisap kadang kala dipersenjatai dengan kait yang kecil dan bergenerasi yang tersusun dalam beberapa lingkaran (Kadarsan et al, 1983).

2.3.1.5. Oesophagostomum sp. Merupakan cacing benjol pada ternak Mempunyai ekspresi yang mengarah ke depan dan dikelilingi oleh kerah ekspresi yang terdapat papila-papila kepala dan yang dibatasi oleh cincin cekung di sebelah posterior. Biasanya terdapat dua mahkota daun. Cacing ini biasanya terdapat pada usus besar sapi, domba, kambing, dan lain-lain (Levine, 1994). Larva Oesophagustomum sp akan membentuk bungkul di usus halus dan usus besar, yang daur hidupnya mencakup larva yang secara aktif merayap ke puncak rumput, yang kemudian akan terpengaruhi oleh binatang (Akoso, 1996).

2.2.2. Ektoparasit 

Ektoparasit pada umumnya termasuk dalam golongan arthropoda, kelompok-kelompok serangga dan akarina pada khususnya. Arthropoda ialah jenis benalu yang mempunyai ekspresi ventral pada segmen pertama atau kepala, sebuah sisitem pencernan yang dibagi menjadi beberapa daerah yang sedikit berbeda untuk tiap kelompok dan sebuah anus yang terletak di ujung (Kadarsan et al., 1983). Parasit jenis arthropoda sanggup mendatangkan kerugian pada induk semangnya dengan cara menghisap darah, cairan limfe atau eksudat, memakan jaringan padat secara langsung, mengakibatkan terjadinya reaksi alergi, mengakibatkan terjadinya aneka macam reaksi tubuh mirip pembengkakan, hipertrofi, hiperplasia, dan pembentukan benjolan. Selain itu juga sanggup bertindak sebagai pembawa penyakit dan benalu contohnya malaria, sanggup juga menurunkan ketahanan induk semang terhadap penyakit-penyakit lain dan benalu (Levine,1994).

2.2.2.1. Tabanus sp. Tabanus sp juga dikenal sebagai lalat kerbau yang mempunyai warna gelap, hitam kecoklat-coklatan dan bertubuh kekar dengan ujung belakangnya meruncing dengan permukaan atas toraksnya bergaris, sayapnya tidak jernih, matanya besar mengambil tempat paling banyak dari permukaan kepala (Kadarsan et al., 1983). Lalat betina remaja bertahan hidup dengan menghisap darah, sedangkan yang jantan hidup dari cairan tanaman, kebanyakan dari lalat ini menyerang mangsanya pada siang hari, bagian-bagian ekspresi lalat betina mirip sebuah pisau sehingga luka yang ditimbulkan sewaktu menghisap darah sanggup cukup besar, lalat kerbau sanggup pula membuatkan bibit penyakit dimana penyakit surra ialah salah satu penyakit yang ditimbulkan oleh flagellata Trypanosoma evansi dimana (Levine,1994).

2.2.2.2. Musca domestica. Musca domestica juga dikenal sebagai lalat rumah. Lalat ini mempunyai alat ekspresi untuk menjilat dan tidak menggigit. Larvanya berkembang di dalam kotoran, tumbuh-tumbuhan busuk kemudian larva tersebut akan bermigrasi ke daerah yang lebih kering untuk menjadi pupa. Lalat remaja makan kuliner insan dan sanggup menularkan sejumlah penyakit usus lantaran kebiasaannya mondar-mandir dari kotoran ke makanan. Lalat ini juga menjadi induk semang bagi cacing lambung kuda Habronema muscae dan Draschia megastoma (Levine, 1994).

Ukuran lalat rumah ini kecil, hanya sebesar biji kacang tanah dan berwarna hitam kecoklatan. Kepalanya besar berwarna coklat gelap. Matanya besar menonjol, sepasang sungut terletak di depan mata dan tiap sungut terdiri atas ruas dasar berbentuk dengan sehelai rambut yang bercabang-cabang tumbuh di atasnya. Lidah pengisapnya melebar ke pecahan ujung dan berbentuk mirip parut. Dengan alat ini lalat mengisap cairan makanan. Toraksnya bertanda 4 garis membujur. Abdomennya berwarna kekuning-kuningan, sedangkan ruas terakhir berwarna coklat kehitaman. Tiga pasang kakinya ditutupi oleh rambut lebat dan bercakar dua buah. Sayapnya sepasang, tipis serta tembus cahaya, berwarna kelabu pucat dan pangkalnya berwarna kekuningan serta urat sayapnya tampak terang (Kadarsan et al., 1983).

2.2.2.3. Hippobosca. Lalat ini disebut juga lalat kuda lantaran banyak dijumpai pada kuda, lalat ini menyerang mangsanya dengan menggigit, dan bekas gigitannya mengakibatkan iritasi pada kulit, tubuh lalat ini menyempit di pecahan tengah dan pecahan perut membulat atau berbentuk persegi dan mempunyai bulu-bulu pendek menutupi seluruh permukaan badan, sedangkan bulu-bulu panjang terdapat pada pecahan toraks, abdomen, dan kaki, matanya kelihatan menonjol dan mulutnya berfungsi sebagai penyayat kulit dan penghisap darah. Ukurannya sedikit lebih besar dar lalat rumah (Levine dan Norman, 1994). 

Tubuh lalat kuda menyempit di pecahan tengah dengan pecahan perut membulat atau bentuk persegi. Bulu-bulu pendek menutupi seluruh permukaan tubuh dengan sekelompok bulu-bulu yang panjang dan keras terdapat di sebagian dari toraks, abdomen dan kaki. Matanya kelihatan menonjol, bagian-bagian ekspresi berfungsi sebagai alat penyayat kulit dan penghisap darah. Sayapnya jernih dengan guratan urat sayap tebal dan sederhana susunannya. Pada setiap kakinya terdapat cakar yang kuat. Ukurannya sedikit lebih besar dari lalat rumah (Kadarsan et al., 1983). 

2.2.2.4. Stomoxys calcitrans. Stomoxys calcitrans yaitu lalat kandang. Lalat sangkar berkembang biak pada sayuran yang membusuk, terutama bila materi tersebut tercampur tinja. Lalat tersebut mengganggu sapi dan juga menularkan penyakit sura yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi, antraks, anemia pada kuda dan cacing lambung kuda Habronema majus (Levine, 1994).

2.2.2.5. Heterodoxus. Heterodoxus termasuk dalam subordo Anblycere. Heterodoxus merupakan serangga benalu pada burung atau mamalia. Bagian-bagian dari kelas ini menjadi kutu-kutu bulu, batang bulu dan tubuh unggas (Levine dan Norman, 1994). Heterodoxus mengandung spesies-spesies yang terdapat pada anjing khusus di negara-negara tropis tidak di negara eropa dan pada kanguru dan kanguru kecil (Kadarsan et al., 1983).

ahad menjadi lalat dewasa, kecepatan untuk menjadi lalat remaja tergantung dari jenis lalat kuda (Levine, 1994).

BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan materi Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminasia dilaksanakan pada hari Kamis, 4 November 2011 di sangkar Bapak Tisnoaji di desa Koum Rt01/Rw04 Gunung Pati. Pemeriksaan Feses dan Pengamatan Preparat Parasit ini dilaksanakan pada hari Jumaat tanggal 11 November 2011 bertempat di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang. Pemeriksaa Kesehatan Unggas dilaksanakan pada hari Jumat, 18 november 2011 bertempat di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi

3.1.1. Pemeriksaan Parasit

Materi yang dipakai dalam pengamatan benalu secara makroskopis ialah awetan binatang mirip Taena saginata, Paramphistomum cervi, dan Fasciola hepatica. Pemeriksaan Secara mikroskopis ialah preparat Paramphistomum sp, Rhicichepalus sp, Heterodoxus sp, Ctenocephalides canis dan Haematopinus sp. Alat yang dipakai dalam pengamatan secara mikroskopis dengan mikroskop dan untuk makroskopis tidak memakai alat bantu. Pemeriksaan telur cacing, materi yang dipakai ialah feses sapi perah, air, dan Naoh. Alat yang dipakai ialah mikroskop, beling penutup, pengaduk, centrifuse, tabung reaksi, cawan petri, objek gelas, gelas beker, pipet dan mortir. Alat dalam praktikum nekropsi ialah pisau. Jarum suntik, pisau bedah dan tabung reaksi.

3.2. Metode

3.2.1. Pemeriksaan Parasit

Metode pengamatan benalu secara makroskopis ialah sanggup dilihat dengan mikroskop. Cara yang dilakukan dengan menyiapakan preparat awetan. Setelah itu eksklusif digambar dan dicari spesifikasi pada benalu tersebut diamati lagsung dengan mata. Setelah itu hasil yang pengamatan di gambar serta menyebutkan warna dan ciri-ciri pecahan tubuhnya. 

3.2.2. Identifikasi Telur Cacing

Metode yang dipakai dalam investigasi telur cacing ialah dengan metode natif dan centrifuse. Pengamatan dengan metode natif ialah mengambil sedikit feses dan menaruhnya pada objek gelas, kemudian meneteskan air diatasnya serta meratakannya, kemudian memeriksanya dengan memakai mikroskop dengan perbesaran 10 x 10. 

Pengamatan dengan metode centrifuse ialah mengambil feses dan menaruhnya dalam mortir, menambahkan sedikit air dan mengaduknya hingga rata, kemudian dituangkan ke dalam tabung centrifuse hingga ¾ bagian, memutar dengan alat centrifuse selama 5 menit, membuang cairan jernih di atas endapan, kemudian menuangkan larutan gula jenuh diatas endapan hingga ¾ tabung dan mengaduknya hingga tercampur rata, memutarnya lagi dengan alat sentrifuge selama 5 menit, meletakkan tabung tersebut dalam rak, kemudian meneteskan NaCl jenuh diatas cairan dalam tabung hingga permukaan cairan menjadi cembung dan menunggunya hingga 3 menit, menempelkan objek gelas pada permukaan yang cembung dengan hati-hati, kemudian dengan cepat, balik objek gelas tersebut, kemudian menutupnya dengan beling epilog dan memeriksanya dengan mikroskop dengan perbesaran 10 x 10.

3.2.3. nekropsi

Metode yang dilakukan dalam praktikum ialah dengan mematikan ayam terlebih dahulu dengan cara menyembelih, kemudian ayam yang telah mati dibersihkan bulunya pada pecahan dada. Pengamatan dilakuakan pada kulit luat dan kulit dalam, sehabis diamati ayam kemudian dibedah untuk diamati pecahan dalamnya mulai dari slauran pernafasan, susukan pencernaan, dan susukan reproduksi.

Artikel Terkait

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Penulisan markup di komentar
  • Untuk menulis huruf bold gunakan <strong></strong> atau <b></b>.
  • Untuk menulis huruf italic gunakan <em></em> atau <i></i>.
  • Untuk menulis huruf underline gunakan <u></u>.
  • Untuk menulis huruf strikethrought gunakan <strike></strike>.
  • Untuk menulis kode HTML gunakan <code></code> atau <pre></pre> atau <pre><code></code></pre>, dan silakan parse kode pada kotak parser di bawah ini.

Disqus
Tambahkan komentar Anda

No comments