Produksi susu segar dalam negeri yang hingga ketika ini masih kekurangan bergotong-royong merupakan peluang besar bagi peternak susu untuk membuatkan usahanya. Namun demikian peternak masih menghadapi permasalahan, antara lain yaitu rendahnya kemampuan budidaya khususnya menyangkut kesehatan ternak dan mutu bibit yang rendah. Kekurangan tersebut selain menimbulkan lambatnya pertumbuhan produksi susu juga besar lengan berkuasa terhadap kualitas susu yang dihasilkan.
Selain itu mulai sulitnya lahan sebagai sumber rumput hijauan bagi ternak, tingginya biaya transportasi serta kecilnya skala perjuangan juga menjadi penghambat perkembangan produksi susu domestik.
Dalam hal pemasaran susu dari peternak dalam negeri, keberadaan Inpres No 4/1998 menimbulkan posisi industri pengolahan susu menjadi jauh lebih kuat dibandingkan peternak alasannya yaitu industri pengolahan susu memiliki pilihan untuk memenuhi materi baku yang diharapkan yaitu susu segar dari dalam negeri maupun dari impor. Hal ini mengakibatkan relatif rendahnya harga susu segar yang diterima oleh perternak dalam negeri.
Dalam hal pemasaran susu dari peternak dalam negeri, keberadaan Inpres No 4/1998 menimbulkan posisi industri pengolahan susu menjadi jauh lebih kuat dibandingkan peternak alasannya yaitu industri pengolahan susu memiliki pilihan untuk memenuhi materi baku yang diharapkan yaitu susu segar dari dalam negeri maupun dari impor. Hal ini mengakibatkan relatif rendahnya harga susu segar yang diterima oleh perternak dalam negeri.
Permasalahan lain yang dihadapi peternak yaitu besarnya ketergantungan peternak terhadap industri pengolahan susu dalam memasarkan susu segar yang dihasilkannya. Dengan absennya keberpihakan Pemerintah terhadap peternak, hal ini menimbulkan kecenderungan bahwa harga susu segar yang diterima peternak relatif rendah. Adanya pemberlakuan standar materi baku yang ketat oleh kalangan industri pengolah susu mendudukkan peternak sapi perah pada posisi tawar yang rendah. Lebih ekstrim lagi, keberadaan industri pengolah susu ini sanggup mengakibatkan terbentuknya struktur pasar yang tentunya menekan peternak. Selain harga susu yang sangat murah pada struktur pasar tersebut, tekanan yang diterima peternak semakin bertambah dengan adanya retribusi yang diberlakukan oleh kebanyakan Pemerintah Daerah di abad otonomi tempat ini.
Bila melihat perkembangan agribisnis persusuan di negara lain, tugas koperasi sangatlah besar dalam membuatkan perjuangan tersebut. Di India, misalnya, koperasi susu telah berkembang sedemikian rupa sehingga hingga ketika ini kurang lebih telah berjumlah 57.000 unit dengan 6 juta anggota. Begitu pula di Uruguay, dimana para peternak domestiknya telah bisa memproduksi 90% dari total produksi susu nasional. Besarnya tugas koperasi tersebut belum terlihat di Indonesia. Koperasi susu kita memiliki posisi tawar yang sangat lemah ketika berhadapan dengan industri pengolahan susu, baik dalam hal jumlah penjualan susu, waktu penjualan, dan harga yang diperoleh. Masalah penting lainya mengenai perkoperasian susu yaitu proses pembentukan koperasi tersebut umumnya bersifat top-down dan intervensi pemerintah relatif besar dalam mengatur organisasi. Pembentukan anggota koperasi bukanlah atas dasar akumulasi modal anggota tetapi lebih banyak bersifat pemberian kredit ternak sapi dalam rangka kemitraan dengan derma modal dari pemerintah. Status anggota koperasi hanya berfungsi pada ketika menjual susu segar dan pembayaran iuran wajib dan iuran pokok. Koperasi sebagai forum ekonomi dalam menjalankan administrasi tanpa pengawasan yang ketat oleh anggota, justru sebaliknya koperasi cenderung berkuasa mengatur anggota